Sering kan mendengar iklan, ‘segera miliki
unit apartemen A. Harga naik Rp 10 juta di akhir bulan’?
Di samping gimmick marketing, kebijakan
goreng harga itu dimaksudkan juga memberi ‘rasa aman’ bagi konsumen yang telah
membeli unit tersebut. Mereka merasa ‘diuntungkan’ karena telah membeli unit
tersebut karena harga naik ‘signifikan’ hanya dalam hitungan bulan.
Masalahnya, kebijakan goreng harga itu sangat
subyektif karena kenaikan harga tidak berdasarkan ‘mekanisme pasar’. Pihak
developer sama sekali mengabaikan apakah ‘permintaan’ unit itu tinggi atau
sebaliknya. Jadi seolah-olah kebijakan goreng harga ini ‘permainan developer.’
Cuma jangan buru-buru menuduh kebijakan
goreng harga sebagai sesuatu yang licik. Kadang kala developer melakukan itu
sebagai upaya ‘menaikkan’ nilai unit tersebut. Kalau langkah itu tak dilakukan,
dikhawatirkan pembeli akan memandang nilai apartemen tersebut stagnan dan tak
layak dimiliki.
Waspadai Harga semu
Kebijakan goreng harga ini pada akhirnya
menciptakan ‘harga semu’. Maksudnya, harga itu bukan terbentuk dari mekanisme
pasar melainkan dari subyektivitas dari developernya. Ketika sisi subyektif
yang bermain, maka developer merasa sah-sah saja memasang harga tinggi atas
apartemen yang dijualnya.
Di sinilah pentingnya mengkalkulasi dengan
bijak sebelum meminang unit apartemen tersebut. Ketika harga sudah tinggi atau
bahkan harganya semu, pilihan yang perlu dicermati apakah unit itu layak
sebagai piranti investasi.
Kalkulasi
dengan seksama setiap penawaran apartemen
Berikut ini poin-poin yang perlu dikalkulasi:
· Perhatikan
kapasitas keuangan jika membeli dengan utang bank (KPR)
· Jika
unit itu disewakan, apakah mudah mendapatkan penyewa. Atau mudahkah unit itu
diperjualbelikan lagi.
· Survei
apakah harga sewanya sepadan dengan harga beli unitnya
· Jadikan
harga apartemen yang lokasinya berdekatan sebagai perbandingan harga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar